2009年8月30日星期日

PHONE TREE PSIK B UGM 2008

Info buat mante -Mante PSIK B 2008

Sekedar Informasi buat teman-teman. ini No Telepon Teman-teman Kita. No Telepon Ini di update sejak awal perkuliahan kemaren taon 2008. kalo ada yang merasa sudah mengganti no HPny dengan yang Baru, Mohon Menghubungi Aku. biar bisa segera di ganti dan di update,...



Silahkan klik di gambar untuk mendapatkan gambar yang lebih jelas.

ASUHAN KEPERAWATAN PADA ANAK TETANUS

I. DEFINISI
Tetanus adalah penyakit toksemia akut yang disebabkan oleh eksotoksin yang dapat larut (tetanospasmin) dari Clostridium tetani. Biasanya, toksin tersebut dihasilkan oleh bentuk vegetatif organisme tersebut pada tempat terjadinya perlukaan dan selanjutnya diangkut serta difiksasi di dalam susunan saraf pusat.

Tetanus adalah suatu sindrom spasme dan rigriditas otot. Ciri dari penyakit akut ini adalah kontraksi otot ( kekakuan dan kejang ) yang nyeri, tanpa disertai gangguan kesadaran. Clostridium tetani merupakan suatu organisme gram positif, anaerob, membentuk spora, yang menghasilkan suatu neurotoksin yang sangat kuat. Basil dan spora tersebar luas di tanah dan debu dan terdapat pada feses hewan dan manusia. Inokulasi dari suatu luka oleh kotoran atau debu paling sering terjadi pada luka tusuk. Pada banyak kasus,luka semula mungkin sangat kecil atau terluut secara keseluruhan. Pada neonatus, penularan dapat terjadi akibat kontaminasi umbilikus yang saat menjadi nekrotik, memudahkan pertumbuhan organisme anterior dari medulla spinalis dan batang otak.

II. EPIDEMIOLOGI
Tetanus tersebar di seluruh dunia dengan angka kejadian tergantung pada jumlah populasi masyarakat yang tidak kebal, tingkat pencemaran biologik lingkungan peternakan/pertanian, dan adanya luka pada kulit atau mukosa. Tetanus pada anak tersebar di seluruh dunia, terutama pada daerah risiko tinggi dengan cakupan imunisasi DPT yang rendah. Angka kejadian pada anak laki-laki lebih tinggi, akibat perbedaan aktivitas fisiknya.
Reservoir utama kuman ini adalah tanah yang mengandung kotoran ternak, kuda dan sebagainya, sehingga resiko penyakit ini di daerah peternakan sangat besar. Spora kuman Cl. Tetani yang tahan terhadap kekeringan dapat bertebaran di mana-mana; misalnya dalam debu jalanan, lampu operasi, bubuk antiseptik ( dermatol ), ataupun pada alat suntik dan operasi.
Di negara maju, kasus tetanus jarang ditemui. Karena penyakit ini terkait erat dengan masalah sanitasi dan kebersihan selama proses kelahiran. Kasus tetanus memang banyak dijumpai di sejumlah negara tropis dan negara yang masih memiliki kondisi kesehatan rendah. Data WHO menunjukan, kematian akibat tetanus di negara berkembang adalah 135 kali lebih tinggi dibandingkan negara maju.


III. PATOFISIOLOGI

Pada umumnya, Cl. Tetani masuk ke dalam tubuh manusia melalui daerah luaka dalam bentuk spora. Penyakit akan timbul, jika spora-spora tersebut berkembang menjadi organisme berbentuk vegetatif yang hanya akan menghasilkan tetanospasmin pada keadaan penurunan potensial oksigen. Pencemaran tali pusat adalah sumber infeksi tersering pada neonatus. Pada anak-anak lebih tua, organisme tersebut didapatkan pada saat mengalami jejas traumatis. Risiko terbesar untuk mendapatkan tetanus jika terjadi luka tusuk dalam atau suatu luka yang berhubungan dengan nekrosis jaringan dan keadaan yang mempermudah proses pengeluaran toksin. Tetapi, tetanus dapat pula terjadi setelah jejas-jejas kecil dan kadang-kadang tidak ditemukan pintu masuknya ( port d’entree ). Pada keadaan demikian, diperkirakan bahwa spora-spora yang sebelumnya telah masuk tetap bertahan selama berbulan-bulan atau bertahun-tahun pada jaringan normal, untuk kemudia tumbuh jika keadaan memungkinkan. Tempat infeksi lainya mungkin adalah saluran cerna atau kripta-kripta tonsil. Tetanus terjadi pula setelah pemberian serum, vaksin atau bahan untuk menjahit luka, yang telah tercemar Cl. Tetani.
Tetanospasmin dapat mencapai susunan saraf pusat melalui:
a. Penyerapan pada sambungan mioneural ( mioneural junction ), yang diikuti migrasi melalui ruangan jaringan perineural ( perineural tissue spaces ) susunan saraf.
b. Pemindahan limfosit ke dalam darah dan selanjutnya ke susunan saraf pusat.
Tetanospasmin bekerja pada motor end plate otot-otot skeletal, medula spinalis, otak dan susunan saraf simpatis. Toksin yang dihasilakn tersebut menimbulkan gangguan transmisi neuromuskuler dengan menghambat pelepasan asetilkolin dari terminal-terminal saraf di dalam otot. Pengaruhnya pada medula spinalis menyebabkan disfungsi refleks polisinaptik. Di dalam susunan saraf pusat, tetanospasmin berikatan dengan gangliosida dan menekan pengaruh hambatan atas neuron-neuron motoris dan interneuron tanpa secara langsung memperbesar kegiatan eksitasi sinaptis serta hambatan antidromik dari aktivitas korteks dikurangi.
Kegiatan ini sama halnya dengan yang ditimbulkan oleh striknin dan sekaligus dapat menerangkan hipertonisitas, kekejangan dan serangan kejang, yang timbul pada penderita. Toksin tersebut juga menghasilakn aktivitas berlebihan yang berfluktuasi dari sistem saraf simpatis: takikardi, hipertensi labil, aritmia jantung, vasokonstriksi pembuluh darah perifer, keringat berlebihan, hiperkarbia dan peningkatan ekskresi katekolamin melalui air kemih.
Sekali terikat oleh jaringan, maka toksin tersebut tidak dapat dipisahkan atau dinetralisasi oleh antitoksin tetanus. Antitoksin dapat mencegah terjadinya pengikatan toksin pada susunan saraf pusat, jika pengikatan hanya terjadi pada susunan perifer. Antitoksin berpengaruh atas pertumbuhan Cl. Tetani atau proliferasi bentuk vegetatif di dalam jaringan.

IV. ETIOLOGI
Clostridium tetani adalah organisme bersifat anaerob obligat, gram-positif, tidak berkapsul, berbentuk batang langsing, dapat bergerak dan membentuk spora-spora terminal yang menyerupai tongkat penabuh gendering (drumstick). Spora-spora tersebut kebal terhadap berbagai bahan dan keadaan yang merugikan termasuk perebusan, tetapi dapat dihancurkan jika dipanaskan dengan otoklaf. Mereka dapat hidup bertahun-tahun di dalam tanah, asalkan tidak terpapar sinar matahari, selain itu dapat ditemukan pula dalam debu rumah, tanah, air laut, air tawar, dan dalam tinja berbagi spesies binatang. Baik spora,maupun bentuk vegetatifnya dapat ditemukan pula dalam isi usus manusia. Bentuk-bentuk vegetatif Cl.tetani rentan terhadap panas dan bermacam desinfektan. Basil tetanus tidak bersifat invansif dan menghasilkan dua macam toksin, yaitu tetanospasmin dan tetanosilin. Tetanospasmin yang dihasilkan oleh beberapa tipe basil tetanus, dengan perbedaan antigeniknya adalah identik secara imunologis. Tetanospasmin merupakan toksin bagi susunan saraf dan bertanggung jawab atas gejala-gejala dan tanda-tanda klinis penyakit tersebut. Kecuali toksin botulinum, maka protein yang dapat berdifusi ini merupakan racun paling kuat yang dikenal ; hanya dengan 130 g saja dapat menyebabkan kematian pada orang dewasa.
Pada dasarnya tetanus adalah penyakit akibat pencemaran lingkungan oleh bahan biologis ( spora ), sehingga upaya kausal menurunkan attack rate berupa cara mengubah lingkungan fisik atau biologik. Port d’entre tak selalu dapat diketahui dengan pasti, namun diduga melalui :
a. Luka tusuk, patah tulang komplikasi kecelakaan, gigitan binatang, luka bakar yang luas.
b. Luka operasi, luka yang tak dibersihkan ( debri demand )dengan baik
c. Otitis media, karies gigi, luka kronik.
d. Pemotongan tali pusat yang tidak steril, pembubuhan puntung tali pusat dengan kotoran binatang, bubuk kopi, bubuk ramuan, dan daun-daunan merupakan penyebab utama masuknya spora pada puntung tali pusat yang menyebabkan terjadinya kasus tetanus neonatorum.

V. MANIFESTASI KLINIS
Variasi masa inkubasi sangat lebar, biasnya berkisar antara 5-14 hari. Makin lama masa inkubasi, gejala yang timbul makin ringan. Derajat berat penyakit selain berdasarkan gejala klinis yang tampak juga dpt diramalkan dari lama masa inkubasi atau lama period of onset. Kekakuan dimulai pada otot setempat atau trismus, kemudian menjalar keseluruh tubuh, tanpa disertai gagguan kesadaran. Kekakuan tetanus sangat khas; yaitu fleksi kedua lengan dan ekstensi pada kedua kaki, fleksi pada telapak kaki,tubuh kaku melengkung bagai busur.
Terdapat 3 bentuk klinis penyakit ini; tetanus terlokalisasi, menyeluruh (generalisasi) dan sefalik.
1. Tetanus terlokalisasi menimbulkan nyeri, kekakuan dan spasme otot terus menerus pada bagian proksimal luka. Gejala ini dapat bertahan selama berminggu-minggu dan akan menghilang tanpa meninggalkan akibat sisa. Kadang-kadang, bentuk ini mendahului gangguan yang menyeluruh. Bentuk tetanus yang terlokalisasi maupun yang menyeluruh yang ringan, kadang-kadang dapat dijumpai pada anak-anak dengan otitis media kronis; Cl.teteni dapat ditemukan dari cairan liang telinga tengah. Fatality rae tetanus terlokalisasi kurang lebih sebesar 1%.
2. Tetanus menyeluruh (generalisasi) merupakan bentuk tersering dari penyakit yang ditemukan.awitan penyakit dapat berlangsung tersembunyi, tetapi trismus merupakan gejala yang tampak pada lebih dari 50% kasus. Spasme otot maseter berhubungan dengan kekakuan otot-otot leher dan kesulitan menelan. Kegelisahan, iritabilitas dan sakit kepala merupakan penemuan dini yang terjadi. Spasme pada otot-otot muka mengakibatkan sardonikus. Kemudian terjadi kontraksi tonik otot-otot somatic yang menyebar secara luas. Otot-otot lumbal dan abdominal menjadi kaku dan spasme terus-menerus pada otot-otot punggung menyebabkab opistotonus. Serangan tetani dapat berkembang yang ditandai dengan cetusan-cetusan kontraksi tonis mendadak, yang mengenai berbagai kelompok otot mengakibatkan fleksi dan aduksi lengan, pengepalan tinju serta ekstensi pada anggota gerak bawah. Pada mulanya spasme yang terjadi bersifat ringan berlangsung dari beberapa detik hingga beberapa menit dan dipisahkan oleh perioderelaksasi; dengan berjalannya waktu, keadaan semakin memberat, semakin kuat dan melelahkan. Spasme dapat dibangkitkan oleh hampir semua rangsang visus, auditoris atau taktil. Pendrita sepenuhnya sadar selama perjalanan penyakit dan mengalami nyeri hebat dengan kecemasan yang menonjol. Spasme otot-otot laring dan pernafasan mengakibatkan obstruksi pernafasan, sehingga timbul sianosis dan asfiksia, disuria atau retensi air kemih dapat timbul secara sekunder terhadap spasme sfingter kandung kemih. Kadang-kadang penderita mengeluarkan tinja dan air kemih, diluar pengendalian mereka. Selain itu, kekuatan kontraksi yang terjadi dapat menimbulkan fraktur kompresi medulla spinalis dan perdarahan ke dalam otot. Kelemahan dan kehilangan sensoris yang mirip dengan neuropati perifer dapat terjadi dengan pola asimetris; saraf yang paling sering terlibat adalah saraf ulnaris, medianus dan poplitea lateralis. Umumnya kenaikan suhu tubuh hanya ringan,tetapi suhu setinggi 40oC dapat terjadi pula akibat dari pengeluaran energi yang besar, yang menyertai serangan kejang tetani. Tanda dan gejala yang meningkat selama 3-7 hari, akan mendatar selama perjalanan penyakit pada minggu ke2 dan berangsur-angsur mereda. Kesembuhan sempurna dapat dicapai dalam 2-6 minggu.
3. Tetanus safalik merupakan bentuk penyakit yang jarang ditemukan. Bentuk ini mempunyai masa tunas 1-2 hari dan menyusul ototis media atau berbagai jenis jejas yangmengenai kepala dan wajah termasuk benda asing di dalam hidung. Gambaran yang paling menonjol adalah disfungsi saraf otak III, IV, VI, IX serta XI. Yang sering terkena adalah saraf otak ke 7. Bentuk sefalik ini dapat disusul dengan tetanus generalisasi.
Tetanus pada anak:
ü Keluhan dimulai dengan kaku otot local, disusul dengan kesukaran untuk membuka mulut (trismus).
ü Diikuti gejala risus sardonikus, opistotonus, kekakuan otot dinding erut dan ekstremitas (fleksi pada lengan bawah,ekstensi pada telapak kaki).
ü Pada keadaan yang berat, dapat terjadi kejang spontan yang makin lama makin sering/lama, gangguan saraf otonom seperti hiperpireksia, hiperhidrosis, kelainan irama jantung, dan akhirnya terjadi hipoksia yang berat.
ü Bila “periode onset” pendek, penyakit dengan cepat berkembang menjadi berat.
Tetanus Neonatorum:
ü Bayi normal dan bisa menetek dalam 3 hari pertama
ü Hari berikutnya bayi sukar menetek.
ü Mulut ‘mencucu’ seperti mulut ikan
ü Risus sardonikus dan kekakuan otot ekstremitas
ü Tanda-tanda infeksi talipusat “kotor”
ü Hipoksia dan sianosia
ü Semua tetanus neonatorum termasuk gradasi berat
Secara praktis,tingkat derajat penyakit dapat dibagi menjadi tetanus berat,sedang,dan ringan. Tetanus berat,bila anak kaku dan sering kejang spontan,yaitu kejang terjadi tanpa rangsangan. Tetanus sedang apabila anak kaku tanpa kejang spontan tetapi masih dijumpai kejang rangsang,yaitu kejang yang terjadi apabila dirangsang . Sedangkan tetanus ringan bila kekakuan yang tampak jelas hanya trismus,tanpa disertai kejang rangsang.

VI. PEMERIKSAAN DAN DIAGNOSIS
Diagnosis tetanus ditegakkan berdasarkan gambaran klinis yang ditemukan. Kebanyakan kasus terjadi pada individu yang belum diimunisasi atau pada bayi yang dilahirkan oleh ibu yang tidak diimunisasi. Sebagian penderita mempunyai riwayat trauma dalam 14 hari terakhir. Jika riwayat tersebut berhasil didapatkan dari penderita dengan trismus, kekakuan otot yang menyeluruh dan spasme tetap sadar,maka dapat diperkirakan suatu diagnosis tetanus.
Pemeriksaan laboratorium rutin hanya bermakna kecil dalam penyakit ini. Jumlah leukosit dapat tetap normal atau terdapat leukositosis poliomorfonuklir ringan. Pemeriksaan cairan serebrospinal tidak mengungkapkan suatu kelainan,tetapi tekanannya dapat meninggi akibat adanya gambaran normal; sedangkan elektromiografi memberi gambaran non spesifik. Biakan yang diambi dari luka penderita memberikan hasil positif untuk Cl. tetani pada kurang lebih sepertiga dari semua penderita dengan bukti klinis penyakit tersebut. Pewarnaan Gram atas bahan luka mungkin dapat atau tidak dapat memperlihatkan adanya organisme spesifik pengenalan organisme melalui pewarnaan Gram dan isolasi dari biakan anaerob merupakan bukti dari dugaan adanya tetanus pada enderita dengan riwayat dan temuan klinis yang sesuai; keberhasilan mengisolasi Cl.tetani dari luka tercemar tidak berarti bahwa penderita mengalami tetanus atau akan mendapatkannya kemudian.
Tetanus harus dibedakan dari penyakit local dan sistemis lain. Trismus dapat timbul berhubungan dengan abses alveolar,parafaringal atau retrofaringal. Keadaan-keadaan ini data dibedakan dari tetanus melaui anamnesis penyakit yang cermat,pemeriksaan fisik dan pemeriksaan roentgenografis yang sesuai.
Poliomyelitis dapat disertai kekakuan dan kekejangan pada awal perjalanan penyakit,tetapi pada penyakit ini tidak ditemukan trismus,timbul kelumpuhan flaksid dan cairan cerebrospinal memperlihatkan kenaikan konsentrasi protein dan pleiositosis. Virus polio diisolasi dari dalam tinja dan diagnosisnya dipastikan dengan kenaikan antibody netralisasi.
Bentuk lain ensefalitis akut atau pascainfeksinya jarang berhubungan dengan adanya trismus,umumnya memperlihatkan gambaran cairan serebrospinal abnormal dan penderita memperlihatkan kesadaran yang berkabut. Meningitis bakteri juga tidak disertai trismus; pemeriksaan cairan serebrospinal dapat menegakkan atau dengan kuat memberi dugaan diagnosis penyakit tersebut.
Rabies maupun tetanus dapat terjadi setelah gigitan binatang dan trismus dapat dijumpai terjadi pada beberapa penderita tersebut. Spasme pada penderita rabies cenderung bersifat intermiten dan lebih bersifat klonik daripada tonik, selain itu dijumpai pleiositosis cairan serebrospinal dan C.tetani bukanlah penghunu yang sering ditemukan di dalam mulut anjing. Tetanus toksoid dapat diberikan setelah gigitan anjing untuk mencegah tetanus akibat pencemaran luka gigitan tersebut (suatu lingkungan yang relative anaerobik) oleh C.tetani yang mungkin telah terdapat pada kulit penderita pada saat mereka digigit atau kemudian masuk ke dalam luka.
Riwayat menelan racun mengandung striknin akan sangat membantu dalam membedakan keracunan yang terjadi dari penyakit tetanus. Pada keracunan tersebut jarang ditemukan trismus dan jika terjadi, akan timbul setelah awitan aktivitas tonik yang menyeluruh. Biasanya,diantara kejang-kejang akan ditemuaka masa relaksasi sempurna. Trismus dapat pula terjadi pada anak-anak yang mengalami keracunan fenotiazin.
Tetani dapat ditandai secara khas oleh spasme karpopedal dan laringospasme,tetapi jarang ditemukan trismus. Diagnosis dipastikan dengan konsentrasi kalsium yang rendah di dalam serum penderita.
Obstruksi intestinal dan perforasi dengan peritonitis berhubugan dengan kekakuan abdomen. Pada keadaan tersebut tidak didapatkan spasme otot menyeluuh dan trismus.
Penyulit-penyulit tetanus dapat dikurangi dengan memberikan perhatian cermat pada perawatan penunjang dan pengobatan yang sesuai. Gangguan pada ventilasi paru,akibat spasme otot-otot pernafasan dan spasme laring atau akibat dari penimbunan sekresi dapat menimbulkan aspirasi pneumonia, atelektasis,emfisema mediastinum atau pneumotoraks dan temuan 2 hal terakhir tersebut mempersulit tindakan trakeostomi. Laserasi pada lidah atau mukosa pii,hematoma intramuscular dan fraktur-fraktur vertebra dapat terjadi setelah serngan kejang tetanik. Jika penyakit berkangsung lama,dapat terjadi malnutrisi dan dehidrasi kecuali bila diberikan perhatian yang memadai pada masalah keseimbangan cairan dan pemasukaan kalori.
Anamnesis yang teliti dan terarah selain membantu menjelaskan gejala klinis yang kita hadapi juga mempunyai arti diagnostik dan prognostik. Pada tetanus neonatorum,anamnesis yang dapat membantu diagnosis antara lain:
· Siapa penolong persalinan,tenaga medis/paramedis atau non medis/dukun bayi,yang telah mendapat pelatihan atau belum. Data ini akan membantu membedakan persalinan yang bersih/higienik atau tidak
· Alat apa yang dipakai untuk memotong tali pusat
· Ramuan apa yang dibubuhkan pada tindakan perawatan puntung tali pusat
· Apakah ibu pernah mendapatkan imunisasi tetanus toksoid sebelum atau selama kehamilannya
· Sejak kapan bayi tak dapat menetek (incubation period)
· Berapa lama selang antara waktu gejala tidak dapat menetek dengan gejala kejang yang pertama (period of onset)
Pada tetanus anak,diperlukan tambahan anamnesis:
· Apakah dijumpai luka tusuk,luka kecelakaan /patah tulang terbuka,luka dengan nanah atau gigitan binatang
· Apakah pernah keluar nanah dari telinga
· Apakah menderita gigi berlubang
· Apakah sudah pernah mendapat imunisasi DPT atau TT,kapan imunisasi yang terakhir
· Selang waktu antara timbulnya gejala klinis pertama (trismus atau spasme lokal) dengan kejag yang pertama (period of onset)

VII. DIAGNOSIS BANDING
Pada kasus yang sama perlu dipikirkan diagnosis banding
· Meningitis,meningoensefalitis,ensefalitis. Pada pada ketiga diagnosis tersebut tidak dijumpai gangguan kesadaran dan kelainan likuor serebrospinal
· Tetani: tetani disebabkan oleh karena hipokalsemia,secara klinis dijumpai adanya spasme karpopedal
· Keracunan strihnin: minum tonikum terlalu banyak (pada anak)
· Rabies: pada rabies dijumpai gejala hidrofobia dan kesukaran menelan,sedangkan pada anamnesis diketahui digigit binatang pada waktu epidemic
· Trasmus oleh karena proses local,seperti mastoiditis,OMSK,abses tonsilar,biasanya asimetris
· Pada tetanus neonatorum perlu dibuat diagnosis banding dengan sepsis,meningitis,dehidrasi,atau sebagai akibat trauma lahir.

VIII. PENATALAKSANAAN
Pengobatan pada tetanus terdiri dari pengobatan umum yang terdiri dari kebutuhan cairan dan nutrisi, menjaga kelancaran jalan nafas, oksigenasi, mengatasi kejang, perawatan luka atau port’d entrée’ lain yang diduga seperti caries dentis dan OMSK; sedangkan pengobatan khusus terdiri dari pemberian antibiotic, dan serum tetanus
Perawatan umum
1. Mencukupi kebutuhan cairan dan nutrisi
Pada hari pertama perlu pemberian cairan secara IV, sekaligus memberikan obat – obatan. Pemberian cairan IV disesuaikan jumlah dan jenisnya dengan keadaan penderita, seperti sering kejan, hiperpireksia, dsb. Bila sampai hari ke – 3 infus belum dapat dilepas sebaiknya dipertimbangkan pemberian nurtisi secara parenteral atau nutrisi tinggi kalori. Setelah kejang mereda mereka dapat dipasang sonde lambung untuk makanan dan obat – obatan dengan perhatian khusus pada kemungkinan terjadinya aspirasi, pemberian makanan per oral hendaknya segera dilaksanakan..
2. Menjaga saluran nafas tetap bebas dan oksigenasi
Respirator, oksigen, alat penghisap, dan perlengkapan trakeostomi harus selalu tersedia. Meskipun trakeostomi tidak diperlukan sebagai prosedur rutin, tetapi tindakan tersebut harus dilakukan sebelum terjadinya kelumpuhan hebat dari otot – otot pernafasan atau laringopasme. Pemberian zat asam tambahan dilakukan jika terdapat sianosis atau serangan apnea, dan pada waktu ada kejang.
3. Mengurangi spasme dan mengatasi kejang
a. Kejang harus segera dihentikan dengan pemberian diazepam 5 mg IV untuk neonatus atau kombinasi fenobarbital dengan largaktil dan diazepam 10 mg IV atau per rectal untuk anak (dosis diazepam untuk anak 0.3 mg/kgBB/kali). Bila kejang memburuk (serangan makin sering dan makin lama), pemberian antikonvulsan dirubah seperti pada awal terapi, yaitu dimulai lagi dengan pemberian secara bolus, dilanjutkan dengan dosis rumatan yang lebih tinggi. Setelah kejang berhenti, pemberian diazepam dilanjutkan dengan dosis rumatan sesuai dengan keadaan klinis pasien. Tanda klinis membaik bila tidak dijumpai lagi kejang spontan, badan masih kaku, kesadaran membaik (tidak koma), tidak dijumpai gangguan pernafasan. Bila dosis diazepam maksimal telah tercapai namun anak masih kejang atau mengalami spasme laring, sebaiknya dipertimbangkan untuk dirawat di ruang perawatan intensif sehingga otot dapat dilumpuhkan dan mendapat bantuan pernafasan mekanik. Apabila dengan terapi antikonvulsan dengan dosis rumatan telah memberikan respons klinis yang diharapkan, dosis dipertahankan selama 3 – 5 hari. Selanjutnya pengurangan dosis dilakukan bertahap (berkisar antara 20% dari dosis stiap 2 hari). Bila pipa nasogastrik telah dapat dipasang, obat anti kejang diberikan secara oral. Eksisi tali pusat tidak lagi dianjurkan.
b. Pada tetanus sedang, dosis antikonvulsan dimulai dengan ½ - 2/3 dari dosis maksimal dan 2/5 dosis maksimal untuk tetanus ringan. Mengingat tetanus sedang/ringan dapat berubah menjadi tetanus berat secara cepat, maka setiap saat dosis harus disesuaikan dengan perubahan gejala klinis dengan pemberian dosis antikonvulsan yang maksimal.
c. Pada tetanus berat, tatalaksana dibagi:
v Tetanus neonatorum
Pertama diazepam diberikan 5 mg IV perlahan – lahan, kemudian dilanjutkan dengan dosis 90 – 120 mg/24 jam bila mungkin mempergunakan pompa semprit (syringe pump) yang diberikan dari polietilen atau karet, tetapi jika pompa semprit tidak ada diazepam diberikan tiap 2 jam (12 kali perhari). Tidak dianjurkan mencampur diazepam dalam larutan cairan yang digunakan untuk infuse.
v Tetanus anak
Setelah pemberian diazepam 10 mg IV perlahan – lahan dilanjutkan dengan dosis 180 – 200 mg/24 jam dengan pompa semprit atau tiap 2 jam atau 12 kali perhari.
d. Pelemas otot (muscle relaxant) harus diberikan kepada penderita tetanus. Diazepam terbukti merupakan obat yang cukup efetif untuk mengendalikan hipertonisitas dan spasme. Diazepam dapat diberikan dalam dosis sebesar 0,1 – 0,2 mg/kg. terbagi dalam 3 – 6 jam secara IV atau IM, sesuai dengan kebutuhan. Klorpromazin dan mefenesin digunakan pula, tetapi sepertinya tidak memberikan hasil yang efektif, mungkin dibutuhkan mas pengobatan berkisar antara 2 – 6 minggu; dosis yang diberikan dapat diperkecil berangsur – angsur sesuai dengan penurunan kegiatan tetanik.
4. Perawatan luka atau port’d entrée’
Dilakukan eksisi jaringan yang cukup luas guna membersihkan jaringan anaerob, terutama bila ada benda asing. Tindakan pembedahan harus ditangguhkan hingga penderita mengalami sedasi dan diberikan antitoksin.
5. Jika karies dentis atau OMSK’
Konsultasi dengan dokter gigi/THT
perawatan khusus
1. Antibiotik
Pengobatan dengan antibiotic dapat memusnahkan C. tetani vegetatif yang tumbuh pada daerah devitalisasi jaringan dimana aliran darahnya buruk atau tidak. Dengan alasan demikian, maka lebih disukai pemberian dosis besar penicillin G untuk memacu difusi ke daerah devitalisasi. Penicillin G ( 200.000 unit/kg/24 jam ) dapat diberikan secara IV dalam 6 dosis terbagi selama 10 hari. Pada penderita yang sensitive terhadap penicillin, maka pemberian tetrasikllin ( 30 – 40 mg/kg/24 jam, tetapi tidak lebih dari 2 g ) dalam 4 dosis oral akan memberikan hasil yang efektif ( untuk anak lebih dari 8 tahun ).Untuk penyulit sepsis atau bronkopneumonia diberikan antibiotic yang sesuai.
2. Anti serum
Tetanus Immunoglobulin berasal dari manusia sebanyak 3000 – 4000 unit, harus diberikan secara IV. Pemberian TIG tidak diikuti oleh alergi atau anafilaksis; dan dengan pemberian ini dapat dihasilkan titer antitoksin yang lebih tinggi serta lebih lama daripada yang dihasilkan oleh antitoksin berasal dari bukan manusia. Derajat perlindungan akan dicapai dengan cepat, sedangkan penurunannya berlangsung perlahan – lahan (waktu paruhnya 24 hari) dan tidak perlu diberikan dosis ulangan. TIG tidak berpengaruh terhadap toksin yang telah terikat pada jaringan saraf dan juga tidak dapat menembus sawat otak, tetapi dapat menetralisasi tetanospasmin yang sedang beredar atau yang belum berkomunikasi.
Jika TIG tidak tersedia dan tes kulit yang dilakukan tidak memperlihatkan adanya hipersensitivitas pada penderita, maka ATS dapat diberikan dengan dosis sebesar 50.000 – 100.000 unit. Antitoksin ini dibagi sama banyak setengah dari dosis tersebut diberikan secara IM dan setengah lagi diberikan secara IV.
Pada tetanus anak pemberian anti serum dapat disertai dengan imunisasi aktif DT setelah anak pulang dari rumah sakit.

IX. PROGNOSIS
Mortalitas rata-rata tetanus sebesar 45-55% ; sedangkan mortalitas tetanus neonatorum sebesar 60% atau lebih tiggi lagi.
Prognosis penyakit dipengaruhi oleh beberapa faktor. Angka kematian tertinggi didapatkan pada bayi dan penderita usia lanjut; mortalitas terendah dijumpai pada penderita berusia antara 10-19 tahun ( kurang dari 20% ). Keterlibatan otot yang luas, demam tinggi dan interval yang pendek antara saat terjadinya luka munculnya manifestasi klinis atau antara terjadinya trismus pertama dengan kejang seluruh tubuh sering menimbulkan kematian, penderita-penderita dengan penyakit terlokalisasi atau yang baru mulai setelah masa tunas lebih lama maupun penderita yang afebris, mempunyai harapan lebih besar untuk sembuh. Kematian pada kasus berat biasanya terjadi selama minggu pertam penyakit. Prognosis penyakit juga tergantung pada mutu perawatan penunjang yang diberikan kepada penderita.
Kesembuhan dari tetanus tidak memberikan kekebalan; karena itu imunisasi aktif penderita setelah kesembuhan, merupakan suatu keharusan.
Selain itu prognosis tetanus juga ditentukan oleh masa inkubasi, period of onset, jenis luka, dan keadaan status imunitas pasien. Makin pendek masa inkubasi makin buruk prognosis. Semakin pendek period of onset makin buruk prognosis. Letak, jenis luka, dan luas kerusakan jaringan turut memegang peran dalam menentukan prognosis. Sedangkan apabila kita menjumpai tetanus neonatorum harus dianggap sebagai tetanus berat, oleh karena mempunyai prognosis buruk.

X. PENCEGAHAN
1. Perawatan luka
Perawatan luka harus segera dilakukan terutama pada luka tusuk, luka kotor, atau luka yang diduga tercemar dengan spora tetanus. Terutama perawatan luka guna mencegah timbulnya jaringan anaerob.
Luka harus dibersihkan, jaringan nekrosis dan benda asing dibuang dan bila perlu dilakukan debridement lebih luas. Pengobatan bedah segera dan menyeluruh atas luka merupakan tindakan yang harus dilakukan.

2. ATS profilaksis
Profilaksis dengan pemberian ATS hanya efektif pada luka baru (kurang dari 6 jam) dan harus segera dilanjutkan dengan imunisasi aktif.

Riwayat Tetanus Luka Kecil, Bersih Semua Jenis Luka Lainnya
Imunisasi Td3 TIG3 Td2 TIG3
Tidak tentu, atau < 3 dosis Ya Tidak Ya Ya
≥ 3 dosis Tidak4 Tidak Tidak5 Tidak
2Td = tetanus toksoid dan difteri toksoid, preparat dewasa. Preparat ini digunakan hanya untuk anak lebih dari 7 tahun. Gunakan DT atau DTP untuk anak berusia < 7 tahun
3TIG = immunoglobulin tetanus
4Ya, jika lebih dari 10 tahun sejak dosis terakhir
5Ya, jika lebih dari 5 tahun sejak dosis terakhir

3. Imunisasi aktif
Imunisasi aktif yang diberikan yaitu DPT, DT, atau toksoid tetanus. Jenis imunisasi tergantung dari golongan umur dan jenis kelamin. Toksoid tetanus diberikan pada setiap wanita usia subur, gadis mulai umur 12 tahun, dan ibu hamil. Vaksin DPT diberikan sebagai imunisasi dasar, diulang setahun setelah DPT III, dan tiga tahun kemudian. DPT/DT diberikan setelah pasien sembuh dilanjutkan imunisasi ulangan diberikan sesuai jadwal, oleh karena tetanus tidak menimbulkan kekebalan yang berlangsung lama sehingga harus dilanjutkan dengan imunisasi aktif.
Anak – anak yang belum mendapatkan imunisasi ketika mencapai usia 6 tahun, sebaiknya mendapat 3 dosis tipe dewasa (Td) secara IM. Dosis ke – 2 harus diberikan 4 – 6 minggu setelah dosis pertama dan dosis ketiga 6 – 12 bulan setelah pemberian dosis ke – 2, setelah itu dosis booster diberikan setiap 10 tahun.

4. Kebersihan pada waktu persalinan
Di Indonesia dikenal program eliminasi tetanus neonatorum 3 bersih yaitu minimal bersih tangan, alas tempat bersalin dan alat pemotong tali pusat. Terutama alas tempat tidur, alat pemotong tali pusat, dan cara perawatan tali pusat, sebelum dan sesudah puntung tali pusat tanggal (diperkirakan 87,3% dari kasus neonatorum berasal dari persalinan yang ditolong oleh tenaga medis).

XI. ASUHAN KEPERAWATAN

Proses Keperawatan
1. Pengkajian
a. Identitas pasien : nama, umur, tanggal lahir, jenis kelamin, alamat, tanggal masuk, tanggal pengkajian, diagnosa medik, rencana terapi
b. Identitas orang tua:
· Ayah : nama, usia, pendidikan, pekerjaan, agama, alamat.
· Ibu : nama, usia, pendidikan, pekerjaan, agama, alamat
c. Identitas sudara kandung
2. Keluhan utama/alasan masuk RS.
3. Riwayat Kesehatan
a. Riwayat kesehatan sekarang
b. Riwayat kesehatan masa lalu
§ Ante natal care
§ Natal
§ Post natal care
c. Riwayat kesehatan keluarga
4. Riwayat imunisasi
5. Riwayat tumbuh kembang
§ Pertumbuhan fisik
§ Perkembangan tiap tahap
6. Riwayat Nutrisi
§ Pemberin asi
§ Susu Formula
§ Pemberian makanan tambahan
§ Pola perubahan nutrisi tiap tahap usia sampai nutrisi saat ini
7. Riwayat Psikososial
8. Riwayat Spiritual
9. Reaksi Hospitalisasi
§ Pemahaman keluarga tentang sakit yang rawat nginap
10. Aktifitas sehari-hari
§ Nutrisi
§ Cairan
§ Eliminasi BAB/BAK
§ Istirahat tidur
§ Olahraga
§ Personal Hygiene
§ Aktifitas/mobilitas fisik
§ Rekreasi
11. Pemeriksaan Fisik
§ Keadaan umum klien
§ Tanda-tanda vital
§ Antropometri
§ Sistem pernafasan
§ Sistem Cardio Vaskuler
§ Sistem Pencernaan
§ Sistem Indra
§ Sistem muskulo skeletal
§ Sistem integumen
§ Sistem Endokrin
§ Sistem perkemihan
§ Sistem reproduksi
§ Sistem imun
§ Sistem saraf : Fungsi cerebral, fungsi kranial, fungsi motorik, fungsi sensorik, fungsi cerebelum, refleks, iritasi meningen
12. Pemeriksaan tingkat perkembangan
§ 0 – 6 tahun dengan menggunakan DDST (motorik kasar, motorik halus, bahasa, personal sosial)
§ 6 tahun keatas (perkembangan kognitif, Psikoseksual, Psikososial)
13. Tes Diagnostik
14. Terapi
d. Diagnosa Keperawatan

♦ Tidak efektifnya bersihan jalan nafas berhubungan dengan meningkatnya sekretsi atau produksi mukus
♦ Defisit velume cairan berhubungan dengan intake cairan tidak adekuat
♦ Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan ketegangan dan spasme otot mastikatoris , kesukaran menelan dan membuka mulut
♦ Resiko aspirasi berhubungan dengan meningkatknya sekresi, kesukaran menelan, dan spasme otot faring.
♦ Resiko injuri berhubungan dengan aktifitas kejang
♦ Resiko kerusakan integritas kulit berhubungan dengan aktifitas tatanuslysin
♦ Kurangnya perawatan diri berhubungan dengan tirah baring dan aktifitas kejang
♦ Kurangnya pengetahuan tentang proses penyakit berhubungan dengan perubahan status kesehatan, penata laksanaan gangguan kejang
♦ Cemas berhubungan dengan kemungkinan injuri selama kejang
Rencana Keperawatan dan Rasional
C Dx. 1. Tidak efektifnya bersihan jalan nafas berhubungan dengan meningkatnya sekretsi atau produksi mukus.
Tujuan : Anak memperlihatkan kepatenan jalan nafas dengan kriteria jalan nafas bersih, tidak ada sekresi
Intervensi
Rasional
a. Kaji status pernafasan, frekwensi, irama, setiap 2 – 4 jam

b. Lakukan pengisapan lendir dengan hati-hati dan pasti bila ada penumpukan sekret
c. Gunakan sudip lidah saat kejang


d. Miringkan ke samping untuk drainage


e. Observasi oksigen sesuai program


f. Pemberian sedativa Diazepam drip 10 Amp (hari pertama dan setiap hari dikurangi 1 amp)
g. Pertahankan kepatenan jalan nafas dan bersihkan mulut

§ Takipnu, pernafasan dangkal dan gerakan dada tak simetris sering terjadi karena adanya sekret
§ Menurunkan resiko aspirasi atau aspeksia dan osbtruksi

§ Menghindari tergigitnya lidah dan memberi sokongan pernafasan jika diperlukan
§ Memudahkan dan meningkatkan aliran sekret dan mencegah lidah jatuh yang menyumbat jalan nafas

§ Memaksimalkan oksigen untuk kebutuhan tubuh dan membantu dalam pencegahan hipoksia
§ Mengurangi rangsangan kejang


§ Memaksimalkan fungsi pernafasan untuk memenuhi kebutuhan tubuh terhadap oksigen dan pencegahan hipoksia

C Dx. 2. Defisit velume cairan berhubungan dengan intake cairan tidak adekuat
Tujuan : Anak tidak memperlihatkan kekurangan velume cairan yang dengan kriteria:
§ Membran mukosa lembab, Turgor kulit baik
Intervensi
Rasional
1. Kaji intake dan out put setiap 24 jam


2. Kaji tanda-tanda dehidrasi, membran mukosa, dan turgor kulit setiap 24 jam
3. Berikan dan pertahankan intake oral dan parenteral sesuai indikasi ( infus 12 tts/m, NGT 40 cc/4 jam) dan disesuaikan dengan perkembangan kondisi pasien
4. Monitor berat jenis urine dan pengeluarannya

5. Pertahankan kepatenan NGT

@ Memberikan informasi tentang status cairan /volume sirkulasi dan kebutuhan penggantian
@ Indikator keadekuatan sirkulasi perifer dan hidrasi seluler
@ Mempertahankan kebutuhan cairan tubuh

@ Penurunan keluaran urine pekat dan peningkatan berat jenis urine diduga dehidrasi/ peningkatan kebutuhan cairan
@ Mempertahankan intake nutrisi untuk kebutuhan tubuh

C Dx. 3. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan ketegangan dan spasme otot mastikatoris , kesukaran menelan dan membuka mulut
Tujuan : Status nutrisi anak terpenuhi dengan kriteria:
@ Berat badan sesuai usia
@ makanan 90 % dapat dikonsumsi
@ Jenis makanan yang dikonsumsi sesuai dengan kebutuhan gizi anak (protein, karbohidrat, lemak dan viotamin seimbang

Intervensi
Rasional
1. Pasang dan pertahankan NGT untuk intake makanan

2. Kaji bising usus bila perlu, dan hati-hati karena sentuhan dapat merangsang kejang

3. Berikan nutrisi yang tinggi kalori dan protein
4. Timbang berat badan sesuai protokol

@ Intake nutrisi yang seimbang dan adekuat akan mempertahankan kebutuhan nutrisi tubuh
@ Bising usus membantu dalam menentukan respon untuk makan atau mengetahui kemungkinan komplikasi dan mengetahui penurunan obsrobsi air.
@ Suplay Kalori dan protein yang adekuat mempertahankan metabolisme tubuh
@ Mengevalusai kefektifan atau kebutuhan mengubah pemberian nutrisi

C Dx. 4. Resiko aspirasi berhubungan dengan meningkatknya sekresi, kesukaran menelan, dan spasme otot faring.
Tujuan : Tidak terjadi aspirasi dengan kriteria:
- Jalan nafas bersih dan tidak ada sekret
- Pernafasan teratur
Intervensi
Rasional
1. Kaji status pernafasan setiap 2-4 jam


2. Lakukan pengisapan lendir dengan hati-hati
3. Gunakan sudip lidah saat kejang

4. Miringkan ke samping untuk drainage


5. Pemberian oksigen 0,5 Liter


6. Pemberian sedativa sesuai program
7. Pertahankan kepatenan jalan nafas dan bersihkan mulut

@ Takipnu, pernafasan dangkal dan gerakan dada tak simetris sering terjadi karena adanya sekret
@ Menurunkan resiko aspirasi atau aspiksia dan osbtruksi
@ Menghindari tergigitnya lidah dan memberi sokongan pernafasan jika diperlukan
@ Memudahkan dan meningkatkan aliran sekret dan mencegah lidah jatuh yang menyumbat jalan nafas
@ Memaksimalkan oksigen untuk kebutuhan tubuh dan membantu dalam pencegahan hipoksia
@ Mengurangi rangsangan kejang
@ Memaksimalkan fungsi pernafasan untuk memenuhi kebutuhan tubuh terhadap oksigen dan pencegahan hipoksia

C Dx. 5. Resiko injuri berhubungan dengan aktifitas kejang
Tujuan : Cedera tidak terjadi dengan kriteria
C Klien tidak ada cedera
C Tidur dengan tempat tidur yang terpasang pengaman
Intervensi
Rasional
1. Identifikasi dan hindari faktor pencetus

2. Tempatkan pasien pada tempat tidur pada pasien yang memakai pengaman
3. Sediakan disamping tempat tidur tongue spatel

4. Lindungi pasien pada saat kejang


5. Catat penyebab mulai terjadinya kejang

@ Menghindari kemungkinan terjadinya cedera akibat dari stimulus kejang
@ Menurunkan kemungkinan adanya trauma jika terjadi kejang
@ Antisipasi dini pertolongan kejang akan mengurangi resiko yang dapat memperberat kondisi klien
@ Mencegah terjadinya benturan/trauma yang memungkinkan terjadinya cedera fisik
@ Pendokumentasian yang akurat, memudah-kan pengontrolan dan identifikasi kejang

C Dx. 6. Resiko kerusakan integritas kulit berhubungan dengan tetanus lysin , pembatasan aktifitas (immobilisasi)
Tujuan : Tidak terjadi kerusakan integritas kulit, dengan kriteria :
C Tidak ada kemerahan , lesi dan edema
Intervensi
Rasional
1. Observai adanya kemerahan pada kulit


2. Rubah posisi secara teratur



3. Anjurkan kepada orang tua pasien untuk memakaikan katun yang longgar
4. Pantau masukan cairan, hidrasi kulit dan membran mukosa

5. Pertahankan hygiene kulit dengan mengeringkan dan melakukan masagge dengan lotion
@ Kemerahan menandakan adanya area sirkulasi yang buruk dan kerusakan yang dapat menimbulkan dikubitus
@ Mengurangi stres pada titik tekanan sehingga meningkatkan aliran darah ke jaringan yang mempercepat proses kesembuhan
@ Mencegah iritasi kulti secara langsung dan meningkatkan evaporasi lembab pada kulit
@ Mendeteksi adanya dehidrasi/overhidrasi yang mempengaruhi sirkulasi dan integritas jaringan
@ Mempertahankan kebersihan karena kulit yang kering dapat menjadi barier infeksi dan masagge dapat meningkatkan sirkulasi kulit

@ Dx. 7. Kurangnya perawatan diri berhubungan dengan tirah baring dan aktifitas kejang
Tujuan : Kebutuhan aktifitas sehari-hari/perawatan diri terpenuhi, dengan kriteria
@ Tempat tidur bersih,Tubuh anak bersih,Tidak ada iritasi pada kulit, BAB/BAK dapat dibantu.

Intervensi
Rasional
1. Pemenuhan kebutuhan aktifitas sehari-hari

2. Bantu anak dalam memenuhi kebutuhan aktifitas , BAB/BAK, membersihkan tempat tidur dan kebersihan diri
3. Berikan makanan perparenteral
4. Libatkan orang tua dalam perawatan pemenuhan kebutuhan sehari-hari.
C Kebutuhan sehari-hari terpenuhi secara adekuat dapat membantu proses kesembuhan
C Memenuhi kebutuhan nutrisi klien



C Orang tua mandiri dalam merawat anak di rumah sakit

C Dx. 8. Cemas berhubungan dengan kemungkinan injuri selama kejang
Tujuan : Orang tua menunjukan rasa cemas berkurang dan dapat mengekspresikan perasaan tentang kondisi anak yang dialami, dengan kriteria : Orang tua klien tidak cemas dan gelisah.
Intervensi
Rasional
1. Jelaskan tentang aktifitas kejang yang terjadi pada anak
2. Ajarkan orang tua untuk mengekspresikan perasaannya tentang kondisi anaknya

3. Jelaskan semua prosedur yang akan dilakukan

4. Gunakan komunikasi dan sentuhan terapetik
C Pengetahuan tentang aktifitas kejang yang memadai dapat mengurangi kecemasan
C Ekspresi/ eksploitasi perasaan orang tua secara verbal dapat membantu mengetahui tingkat kecemasan
C Pengetahuan tentang prosedur tindakan akan membantu menurunkan / menghilangkan kecemasan
C Memberikan ketenangan dan memenuhi rasa kenyamanan bagi keluarga

DAFTAR PUSTAKA


Wiknjosastro, Hanifa. 1991. Ilmu Kebidanan. Gramedia: Jakarta
Nelshon, Waldo H. 1992. Ilmu Kesehatan Anak Nelshon, 2ed. EGC: Jakarta
http://keperawatan-gun.blogspot.com/2008/05/asuhan-keperawatan-dengan-tetanus.html

2009年8月29日星期六

Penatalaksanaan fisioterapi pada fraktur dengan pemasangan illizarov by S.Rujito,AMF


illizarov.jpg

1. Definisi.

Fraktur cruris sepertiga distal adalah terputusnya hubungan kontinuitas tulang tibia dan fibula pada daerah sepertiga bawah tungkai bawah (Apply, 1995).

Ilizarov, Bone lengthening, Bone distraction osteogenesis atau Callotaxis adalah suatu istilah yang sama dalam program pemanjangan tulang. Ilizarov dikembangkan pertama kali oleh seorang dari Siberia Rusia yang bernama Gabriel Abramovich Ilizarov. Ilizarov adalah suatu alat eksternal fiksasi yang berfungsi untuk menjaga agar tidak terjadi pergeseran tulang dan untuk membantu dalam proses pemanjangan tulang (Ismail Maryanto, 2003).

illizarov1.jpg

Indikasi pemasangan Ilizarov : (1) Menyamakan panjang lengan atau tungkai yang tidak sama, (2) Menyamakan dan menumbuhkan daerah tulang yang hilang akibat patah tulang terbuka yang hilang, (3) Membuang tulang yang infeksi dan diisi dengan cara menumbuhkan tulang yang sehat, (4) Menambah tinggi badan,baca selengkapnya….

Kontra indikasi pemasangan Ilizarov : (1) Open fraktur dengan soft tissue yang perlu penanganan lanjut yang lebih baik bila dipasang single planar fiksator, (2) Fraktur intra artikuler yang perlu ORIF, (3) Simple fraktur (bisa dengan pemasangan plate and screw nail wire), (3) Fraktur pada anak (fresh).

Prosedur pemutaran Ilizarov : (1) Pada rod (batang berulir) diameter 8 mm pemutaran penuh satu lingkaran (360°) setara dengan pergerakan 1,2 mm, (2) Pada rod 6 mm setara dengan 1 mm, (3) Proses pemanjangan tulang dalam sehari maksimal 1 mm dan dibagi dalam beberapa kali siklus pemutaran.

Kekurangan dari system Ilizarov adalah (1) Waktu operasi lama, (2) Perawatan lama perlu kerja sama yang baik dengan pasien, (3) Nyeri, (4) Potensial terjadi gangguan neurovaskuler, (5) Penderita harus kontrol secara teratur, (6) Siap secara psikologis bagi pemakainya, (7) Kaku Sendi. (Ismail Maryanto, 2003).

2. Patologi.

Pada tindakan operasi pemanjangan tulang tibia dengan menggunakan ilizarov maka prosedur pemasangannya, terlebih dahulu akan dilakukan osteotomi atau pemotongan tulang kemudian ditempelkan lagi dan dilakukan fiksasi dengan alat-alat fiksator eksterna (Ismail Maryanto, 2003). Pada tindakan operasi maka akan dilakukan incisi, sehingga akan terjadi kerusakan jaringan lunak di bawah kulit maupun pembuluh darah yang mengakibatkan terjadinya odema, nyeri, dan penurunan lingkup gerak sendi. Menurut Dandy (1993) yang dikutip oleh Hanssenkam (1999), bahwa pada dasarnya penyembuhan pada cidera jaringan lunak ada 3 tahap yaitu injury, inflamation, dan repair.

a. Injury

Pada tahap ini ,jaringan lunak yang disayat pada proses operasi menyebabkan luka dan perdarahan serta kematian beberapa jaringan tersebut. Pada ruang incisi akan terjadi perdarahan yang kemudian akan diikuti penggumpalan. Setelah itu tubuh akan mengeluarkan leukosit untuk fagositosis jaringan yang mati.

b. Inflamation

.Pada masa ini juga terdapat tanda-tanda peradangan seperti bengkak, nyeri, teraba panas, dan kemerah-merahan, dan kehilangan fungsi. Pada tahap ini karena terjadi kerusakan pada jaringan lunak akan menstimulus pengeluaran zat-zat kimiawi dari dalam tubuh yang membuat nyeri seperti histamin dan bradykinin. Bengkak terjadi karena peimbunan exudat dibawah kulit. Teraba panas dan kemerah-merahan terjadi karena perubahan vaskuler berupa vasodilatasi pembuluh darah, sehingga darah banyak terkonsentrasi pada luka tersebut, (Lachmann,1988).

c. Repair

Pada tahap ini penyembuhan terjadi dengan mengganti jaringan yang rusak atau hilang dengan jaringan subtitusi (jaringan pengganti). Jaringan subtitusi yang mengganti jaringan asal yang rusak atau hilang adalah jaringan kolagen (collagen), sehingga akan timbul fibrosis yang akhirnya akan berwujud sebagai jaringan parut (cicatrix).

Pada tindakan operasi, tulang yang mengalami perpatahan akan disambung kembali. Menurut Apley (1995), secara fisiologis tulang yang mengalami perpatahan mempunyai kemampuan menyambung. Proses penyambungan tulang dibagi dalam 5 fase, yaitu :

a. Fase Hematoma

Pada saat terjadi fraktur pembuluh darah robek dan terbentuk hematoma disekitar dan di dalam fraktur. Tulang pada permukaan fraktur, yang tidak mendapat persediaan darah akan mati.

b. Fase Proliferasi

Setelah fraktur terdapat reaksi radang akut yang disertai proliferasi sel dibawah periosteum dan di dalam saluran medula akan tertembus. Sel-sel ini merupakan awal dari osteoblast, yang akan melepaskan substansi interseluler. Jaringan seluler mengelilingi masing-masing fragmen yang akan menghubungkan tempat fraktur. Hematoma membeku perlahan-lahan diabsorbsi dan kapiler baru yang halus berkembang kedalam daerah itu.

c. Fase pembentukan kalus.

Jaringan seluler berubah menjadi osteoblast dan osteoklast. Osteoblast melepaskan matrik interseluler dan polisakarida yang akan menjadi garam kalsium dan mengendap disitu sehingga terjadi jaringan kalus. Tulang yang dirangkai (woven bone) muncul pada kalus. Tulang yang mati di bersihkan.

d. Fase Konsolidasi

Aktivitas osteoklast berlanjut, tulang yag dirangkai digantikan oleh tulang lamelar dan fraktur dipersatukan secara kuat.

e. Fase Remodelling

Fraktur telah dijembatani oleh suatu manset tulang padat. Tulang yang baru berbentuk sehingga mirip dengan struktur normal.

A. Teknologi Intervensi Fisiot erapi.

Terapi latihan adalah salah satu modalitas fisioterapi dengan menggunakan gerak tubuh baik secara active maupun passive untuk pemeliharaan dan perbaikan kekuatan, ketahanan dan kemampuan kardiovaskuler, mobilitas dan fleksibilitas, stabilitas, rileksasi, koordinasi, keseimbangan dan kemampuan fungsional (Kisner,1996). Teknologi intervensi Fisioterapi yang dapat digunakan antara lain :

1. Positioning

Dengan mengelevasikan tungkai yang sakit maka dengan posisi ini bermanfaat untuk mengurangi oedem.

2. Rileks passive movement

Merupakan gerakan yang murni berasal dari luar atau terapis tanpa disertai gerakan dari anggota tubuh pasien. Gerakan ini bertujuan untuk melatih otot secara pasif, oleh karena gerakan berasal dari luar atau terapis sehingga dengan gerak rileks passive movement ini diharapkan otot yang dilatih menjadi rilek maka menyebabkan efek pengurangan atau penurunan nyeri akibat incisi serta mencegah terjadinya keterbatasan gerak serta menjaga elastisitas otot (Kisner, 1996). Mekanisme penurunan nyeri oleh gerakan rileks passive movement sebagai berikut : adanya stimulasi kinestetik berupa gerakan rileks pasif movement yang murni berasal dari luar atau terapis tanpa disertai gerakan dari anggota tubuh pasien akan merangsang muscle spindle dan organ tendo golgi dalam pengaturan motorik, fungsi dari muscle spindle adalah (1) mendeteksi perubahan panjang serabut otot, (2) mendeteksi kecepatan perubahan panjang otot, sedangkan fungsi dari organ tedo golgi adalah mendeteksi ketegangan yang bekerja pada tendo golgi saat otot berkontraksi (Guyton, 1991). Dengan terstimulasinya muscle spindle dan organ tendo golgi lewat gerakan rileks passive movement akan mempengaruhi mekanisme kontraksi dan rileksasi otot, yaitu bahwa ion-ion calsium secara normal berada dalam ruang reticulum sarcoplasma. Potensial aksi menyebar lewat tubulus transversum dan melepaskan Ca 2+. Filamen-filamen actin (garis tipis) menyelip diantara filamen-filamen myosin, dan garis-garis bergerak saling mendekati. Ca 2+ kemudian dipompakan kedalam reticulum sarcoplasma dan otot kemudian mengendor (Chusid, 1993). Dengan kedaaan otot yang sudah mengendor maka penurunan nyeri dapat terjadi melalui mekanisme-mekanisme sebagai berikut: (1) Tidak ada lagi perbedaan tekanan intramuscular yang menekan nociceptor sehingga nociceptor tidak terangsang untuk menimbulkan nyeri, (2) Dengan gerakan rileks passive movement yang berulang-ulang maka nociceptor akan beradaptasi terhadap nyeri. Suatu sifat khusus dari semua reseptor sensoris adalah bahwa mereka beradaptasi sebagian atau sama sekali terhadap rangsang mereka setelah suatu periode waktu. Yaitu, bila suatu rangsang sensoris kontinu bekerja untuk pertama kali, mula-mula reseptor tersebut bereaksi dengan kecepatan impuls yang sangat tinggi, kemudian secara progresif makin berkurang sampai akhirnya banyak diantaranya sama sekali tidak bereaksi lagi . Hal ini dapat pula untuk menentukan dosis gerakan rileks passive movement agar dapat menstimulasi muscle spindle.

Mekanisme umum dari adaptasi dibagi dua yaitu : (1) Sebagian adaptasi disebabkan oleh penyesuaian didalam struktur reseptor itu sendiri, (2) Sebagian disebabkan oleh penyesuaian didalam fibril saraf terminal. (Guyton, 1991) (3) Dengan mengendornya otot melalui gerakan rileks passive movement akan mempengaruhi spasme otot dan iskemi jaringan sebagai penyebab nyeri. Spasme otot sering menimbulkan nyeri alasanya mungkin dua macam, yaitu : (1) Otot yang sedang berkontraksi menekan pembuluh darah intramuscular dan mengurangi atau menghentikan sama sekali aliran darah, (2) Kontraksi otot meningkatkan kecepatan metabolisme otot tersebut. Oleh karena itu , spasme otot mungkin menyebabkan iskemi otot relatif sehingga timbul nyeri iskemik yang khas. Penyebab nyeri pada iskemik belum diketahui, salah satu penyebab nyeri pada iskemik yang diasumsikan adalah pengumpulan sejumlah besar asam laktat didalam jaringan, yang terbentuk sebagai akibat metabolisme anaerobic yang terjadi selama iskemik, tetapi, mungkin pila zat kimia lain, seperti bradikinin dan poliopeptida, terbentuk didalam jaringan karena kerusakan sel otot dan bahwa inilah, bukannya asam laktat yang merangsang ujung saraf nyeri. (Guyton, 1991).

3 Passive joint mobility

Gerakan tubuh manusia terjadi pada persendian. Macam gerakan dan ROM tergantung dari struktur anatomi sendi, juga posisi otot yang mengontrol gerakan tadi.

Kapsular ligament yang seluruhnya terdapat didalam kapsul sendi akan memberikan penguat terhadap synovial membrane, dimana synovial membrane tadi akan mengeluarkan cairan kedalam rongga sendi yang menjamin gerakan sendi tetap licin, juga memberikan makan terhadap cartilago.

Pada kaki banyak terdapat persendian, sehingga memungkinkan kaki dapat berjalan, menyesuaikan bermacam-macam permukaan dan tampak lentur atau mengeper.

4 Active exercise

Merupakan gerakan yang dilakukan oleh otot-otot anggota tubuh itu sendiri. Gerak dalam mekanisme pengurangan nyeri dapat terjadi secara reflek dan disadari. Gerak yang dilakukan secara sadar dengan perlahan dan berusaha hingga mencapai lingkup gerak penuh dan diikuti rileksasi otot akan menghasilkan penurunan nyeri (Kisner,1996). Mekanisme gerak yang disadari dalam penurunan nyeri adalah bahwa perananan muscle spindle sangat penting dalam mekanisme ini, sama pentingnya dalam penurunan nyeri dengan menggunakan gerakan pasif. Untuk menekankan pentingnya system eferen gamma, eferen gamma adalah suatu serabut saraf kecil yang bertugas merangsang ujung-ujung serabut intrafusal agar daerah sentral berkontraksi. Orang perlu menyadari bahwa 31 persen dari semua serabut saraf motorik ke otot merupakan serabut eferen gamma, bukannya serabut motorik besar jenis A alfa. Bila sinyal dikirimkan dari korteks motorik atau dari daerah otak lain apapun ke motoneuron gamma hampir selalu terangsang pada saat bersamaan. Ini menyebabkan serabut otot ekstrafusal dan intrafusal berkontraksi pada saat yang sama.

Tujuan mengkontraksikan serabut muscle spindle pada saat bersamaan dengan kontraksi serabut otot rangka besar mungkin ada dua macam : (1) mencegah muscle spindle menentang kontraksi otot, (2) mempertahankan sifat responsif muscle spindle terhadap peredaman dan beban yang tepat dengan tidak menghiraukan perubahan panjang otot. Dengan bekerjanya muscle spindle secara sadar dan optimal maka dengan mekanisme adaptasi dan rileksasi akan menimbulkan penurunan nyeri.(Guyton,1991).

Active exercise terdiri dari assisted exercise, free active exercise dan resited active exercise. Assisted exercise dapat mengurangi nyeri karena merangsang rileksasi propioseptif. Resisted active exercise dapat meningkatkan tekanan otot, dimana latihan ini akan meningkatkan rekruitment motor unit-motor unit sehingga akan semakin banyak melibatkan komponen otot yang bekerja, dapat dilakukan dengan peningkatan secara bertahap beban atau tahanan yang diberikan dengan penurunan frekuensi pengulangan (Kisner, 1996). Mekanime peningkatan kekuatan otot melalui gerakan resisted active execise adalah dengan adanya irradiasi atau over flow reaction akan mempengaruhi rangsangan terhadap motor unit, motor unit merupakan suatu neuron dan group otot yang disarafinya. Komponen-komponen serabut otot akan berkontraksi bila motor unit tersebut diaktifir dengan memberikan rangsangan pada cell (AHC)nya. Jadi kekuatan kontraksi otot ditentukan motor unitnya, otot akan berkontraksi secara kuat bila otot tersebut semakin banyak menerima rangsangan motor unitnya. Karena otot terdiri dari serabut-serabut dengan motor unit yang mensyarafinya, maka kontraksi otot secara keseluruhan tergantung dari jumlah motor unit yang mengaktifir otot tersebut pada saat itu. Jumlah motor unit yang besar akan menimbulkan kontraksi otot yang kuat, sedangkan kontraksi otot yang lemah hanya membutuhkan keaktifan motor unit relatif lebih sedikit.(Heri Priatna, 1983).

5. Latihan jalan

Aspek terpenting pada penderita fraktur tungkai bawah adalah kemampuan berjalan ,latihan yang yang dilaksanakan adalah ambulasi non weight bearing, dengan menggunakan alat bantu berupa 2 buah kruk, caranya kedua kruk dilangkahkan kemudian diikuti kaki yang sehat sementara kaki yang sakit menggantung (Cash, 1966). Syarat berjalan dengan alat Bantu (1) Otot-otot lengan harus kuat, (2) Harus mempertahankan keseimbangan dalam posisi berdiri dengan alat bantu, (3) Bisa berdiri lama minimal 15 menit.(Tidys, 1961).

DAFTAR PUSTAKA

Appley,A.G and Louis Solomon.(1995).Terjemahan Ortopedi dan Fraktur Sistem Appley ( edisi ke7).Widya Medika.

Chusid, J.G.(1993).Neuroanatomi Korelatif dan Neurologi Fungsional (edisi empat).Yogyakarta : Gajah Mada University Press.

Gerhardt, j. John and Russe, A. Cotto.(1995). International SFTR Method of Measuring and Recording Joint Motion. Stugart : Hans huber Publiser.

Hassenkam ,Marie.(1999). Soft Tissue Injuries. In Atkinson Karen, et.all.Physioterapi in Orthopaedic.Philadelpia : F.A davis Company.

Kisner,Carolyn and Lynn Colby. (1996). Therapeutic Exercise Foundation and Techniques ( third edition). Philadelphia : F.A Davis Company.

Kumar, et. All. (1992). Basic Pathology (fifth edition). Philadelpia :W. B Saunder Company.

Lachmann, Sylvia. (1988). Soft Tissue Injuries in Sport. London : Blackwell scientific Publication.

Mc Rae,Ronald. (1994) . Practical Fracture Treatment ( third edition). Hongkong.

Norkin,C.Chynthia and D. Joice White. (1995). Measurement of Joint Motion a Guide to Goniometry ( second edition). Philadelphia : F.A Davis Company.

FRAKTUR KLAVIKULA




A. Pendahuluan
Tulang merupakan alat penopang dan sebagai pelindung pada tubuh. Tanpa tulang tubuh tidak akan tegak berdiri. Fungsi tulang dapat diklasifikasikan sebagai aspek mekanikal maupun aspek fisiologikal.
Dari aspek mekanikal, tulang membina rangka tubuh badan dan memberikan sokongan yang kokoh terhadap tubuh. Sedangkan dari dari aspek fisiologikal tulang melindungi organ-organ dalam seperti jantung, paru-paru dan lainnya. Tulang juga menghasilkan sel darah merah, sel darah putih dan plasma. Selain itu tulang sebagai tempat penyimpanan kalsium, fosfat, dan garam magnesium.
Namun karena tulang bersifat relatif rapuh, pada keadaan tertentu tulang dapat mengalami patah, sehingga menyebabkan gangguan fungsi tulang terutama pada pergerakan.
Patah tulang atau fraktur merupakan hilangnya kontinuitas tulang yang umumnya disebabkan oleh tekanan. Peristiwa ini dapat terjadi karena :
1. Peristiwa trauma tunggal.
Patah tulang pada peristiwa ini biasanya dikarenakan oleh kekuatan yang tiba-tiba berlebihan dapat berupa pemukulan, penekukan, pemuntiran ataupun penarikan.
2. Tekanan yang berulang-ulang.
Tekanan yang berulang-ulang dapat menimbulkan keretakan. Sebagai contoh seorang pelari yang menempuh jarak jauh dapat mengalami retak tulang pada daerah tibia, fibula maupun metatarsal.
3. Fraktur patologik.
Pada peristiwa ini tulang mengalami patah oleh tekanan yang normal dikarenakan tulang tersebut lemah atau rapuh. Bisa disebabkan oleh penyakit tertentu, misalnya tumor.

Banyak sekali kasus patah tulang yang terjadi dan berbeda-beda pada daerah patah tulang tersebut. Pada kasus ini akan dibahas mengenai patah tulang bagian klavikula .

B. Etiologi Faktur Klavikula
Menurut sejarah fraktur pada klavikula merupakan cedera yang sering terjadi akibat jatuh dengan posisi lengan terputar/tertarik keluar (outstreched hand) dimana trauma dilanjutkan dari pergelangan tangan sampai klavikula, namun baru-baru ini telah diungkapkan bahwa sebenarnya mekanisme secara umum patah tulang klavikula adalah hantaman langsung ke bahu atau adanya tekanan yang keras ke bahu akibat jatuh atau terkena pukulan benda keras. Data ini dikemukankan oleh Nowak et a,l Nordqvist dan Peterson. Patah tulang klavikula karena jatuh dengan posisi lengan tertarik keluar (outstreched hand) hanya 6% terjadi pada kasus, sedangkan yang lainnya karena trauma bahu. Kasus patah tulang ini ditemukan sekitar 70% adalah hasil dari trauma dari kecelakaan lalu lintas.
Kasus patah tulang klavikula termasuk kasus yang paling sering dijumpai. Pada anak-anak sekitar 10–16 % dari semua kejadian patah tulang, sedangkan pada orang dewasa sekitar 2,6–5 %.

C. Patofisiologi
Klavikula adalah tulang pertama yang mengalami proses pengerasan selama perkembangan embrio minggu ke-5 dan 6. Tulang klavikula, tulang humerus bagian proksimal dan tulang skapula bersama-sama membentuk bahu. Tulang klavikula juga membentuk hubungan antara anggota badan atas dan Thorax. Tulang ini membantu mengangkat bahu ke atas, ke luar, dan ke belakang thorax. Pada bagian proksimal tulang clavikula bergabung dengan sternum disebut sebagai sambungan sternoclavicular (SC). Pada bagian distal klavikula bergabung dengan acromion dari skapula membentuk sambungan acromioclavicular (AC).
Patah tulang klavikula pada umumnya mudah untuk dikenali dikarenakan tulang klavikula adalah tulang yang terletak dibawak kulit (subcutaneus) dan tempatnya relatif di depan. Karena posisinya yang teletak dibawah kulit maka tulang ini sangat rawan sekali untuk patah. Patah tulang klavikula terjadi akibat dari tekanan yang kuat atau hantaman yang keras ke bahu. Energi tinggi yang menekan bahu ataupun pukulan langsung pada tulang akan menyebabkan fraktur.

D. Klasifikasi
Klasifikasi patah tulang secara umum adalah :
- Fraktur lengkap
Adalah patah atau diskontinuitas jaringan tulang yang luas sehingga tulang terbagi menjadi dua bagian dan garis patahnya menyeberang dari satu sisi ke sisi lain.
- Fraktur tidak lengkap
Adalah patah atau diskontinuitas jaringan tulang dengan garis patah tidak menyeberang, sehingga tidak mengenai korteks (masih ada korteks yang utuh).
Menurut Black dan Matassarin (1993) yaitu fraktur berdasarkan hubungan dengan dunia luar, meliputi:
- Fraktur tertutup yaitu fraktur tanpa adanya komplikasi, kulit masih utuh, tulang tidak menonjol malalui kulit.
- Fraktur terbuka yaitu fraktur yang merusak jaringan kulit, karena adanya hubungan dengan lingkungan luar, maka fraktur terbuka potensial terjadi infeksi.

Lokasi patah tulang pada klavikula diklasifikasikan menurut Dr. FL Allman tahun 1967 dan dimodifikasi oleh Neer pada tahun 1968, yang membagi patah tulang klavikula menjadi 3 kelompok.
1. Kelompok 1: patah tulang pada sepertiga tengah tulang klavikula (insidensi kejadian 75-80%).
- Pada daerah ini tulang lemah dan tipis.
- Umumnya terjadi pada pasien yang muda.
2. Kelompok 2: patah tulang klavikula pada sepertiga distal (15-25%).
Terbagi menjadi 3 tipe berdasarkan lokasi ligament coracoclavicular yakni (yakni, conoid dan trapezoid).
- Tipe 1. Patah tulang secara umum pada daerah distal tanpa adanya perpindahan tulang maupun ganguan ligament coracoclevicular.
- Tipe 2 A. Fraktur tidak stabil dan terjadi perpindahan tulang, dan ligament coracoclavicular masih melekat pada fragmen.
- Tipe 2 B. Terjadi ganguan ligament. Salah satunya terkoyak ataupun kedua-duanya.
- Tipe 3. Patah tulang yang pada bagian distal clavikula yang melibatkan AC joint.
- Tipe 4. Ligament tetap utuk melekat pata perioteum, sedangkan fragmen proksimal berpindah keatas.
- Tipe 5. Patah tulang kalvikula terpecah menjadi beberapa fragmen.
3. Kelompok 3: patah tulang klavikula pada sepertiga proksimal (5%)
Pada kejadian ini biasanya berhubungan dengan cidera neurovaskuler.


E. Gambaran Klinis
Gambaran klinis pada patah tulang klavikula biasanya penderita datang dengan keluhan jatuh atau trauma. Pasien merasakan rasa sakit bahu dan diperparah dengan setiap gerakan lengan. Pada pemeriksaan fisik pasien akan terasa nyeri tekan pada daerah fraktur dan kadang-kadang terdengar krepitasi pada setiap gerakan. Dapat juga terlihat kulit yang menonjol akibat desakan dari fragmen patah tulang. Pembengkakan lokal akan terlihat disertai perubahan warna lokal pada kulit sebagai akibat trauma dan gangguan sirkulasi yang mengikuti fraktur.
Untuk memperjelas dan menegakkan diagnosis pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan adalah :
- Pemeriksaan rontgen: Untuk menentukan lokasi, luas dan jenis fraktur.
- Scan tulang, CT-scan/ MRI: Memperlihatkan frakur dan mengidentifikasikan kerusakan jaringan lunak.

F. Penanganan
Pada prinsipnya penangan patah tulang klavikula adalah untuk mencapai penyembuhan tulang dengan minimum tingkat morbiditas, hilangnya fungsi, dan sisa kelainan bentuk.
Kebanyakan patah tulang klavikula telah berhasil ditangani dengan metode tanpa operasi. Perawatan nonoperative dengan cara mengurangi gerakan di daerah patah tulang. Tujuan penanganan adalah menjaga bahu tetap dalam posisi normalnya dengan cara reduksi tertutup dan imobilisasi. Modifikasi spika bahu (gips klavikula) atau balutan berbentuk angka delapan atau strap klavikula dapat digunakan untuk mereduksi fraktur ini, menarik bahu ke belakang, dan mempertahankan dalam posisi ini. Bila dipergunakan strap klavikula, ketiak harus diberi bantalan yang memadai untuk mencegah cedera kompresi terhadap pleksus brakhialis dan arteri aksilaris. Peredaran darah dan saraf kedua lengan harus dipantau. Fraktur 1/3 distal klavikula tanpa pergeseran dan terpotongnya ligamen dapat ditangani dengan sling dan pembatasan gerakan lengan. Bila fraktur 1/3 distal disertai dengan terputusnya ligamen korakoklavikular, akan terjadi pergeseran, yang harus ditangani dengan reduksi terbuka dan fiksasi interna. Selama imobilisasi pasien diperkenankan melakukan latihan gerakan tapi harus menghindari aktivitas yang berat.
Tindak lanjut perawatan dilakukan dengan pemantauan yang dijadwalkan 1 hingga 2 minggu setelah cedera untuk menilai gejala klinis dan kemudian setiap 2 hingga 3 minggu sampai pasien tanpa gejala klinis. Pemeriksaan foto rontgen tidak perlu selama proses perawatan, tetapi akan lebih baik dilakukan pada saat proses penyatuan tulang yang biasanya dapat dilihat pada minggu ke 4 sampai minggu ke 6 (pada saat fase remodeling pada proses penyembuhan tulang). Tanda klinis penyatuan tulang adalah berkurangnya rasa sakit atau rasa sakit hilang, dapat melakukan gerakan bahu secara penuh, dan kekuatan kembali normal.
Tidakan pembedahan dapat dilakukan apabila terjadi hal-hal berikut :
- Fraktur terbuka.
- Terdapat cedera neurovaskuler.
- Fraktur comminuted.
- Tulang memendek karena fragmen fraktur tumpang tindih.
- Rasa sakit karena gagal penyambungan (nonunion).
- Masalah kosmetik, karena posisi penyatuan tulang tidak semestinya (malunion).
Pemberian obat pada kasus patah tulang dapat dilakukan untuk mengurangi rasa nyeri. Obat-obat yang dapat digunakan adalah obat kategori analgesik antiinflamasi seperti acetaminophen dan codeine dapat juga obat golongan NSAIDs seperti ibuprofen.



G. Prognosis
Patah tulang akan sembuh dengan baik jika dilakukan tindakan operative.

H. Komplikasi
Komplikasi akut:
- Cedera pembuluh darah
- Pneumouthorax
- Haemothorax
Komplikasi lambat :
- Mal union: proses penyembuhan tulang berjalan normal terjadi dalam waktu semestinya, namun tidak dengan bentuk aslinya atau abnormal.
- Non union: kegagalan penyambungan tulang setelah 4 sampai 6 bulan

versi asli diambil dari : http://images.google.co.id/imgres?imgurl=https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgOMFKQw9Tim-VTgePNBU_xrOvg7ILUjCtQNsgNuXeLnwWAXtVkPuLBP5HVM5L5-gZKEnG_z_U2tw5r9F38CIMH1crMgRaWn2ysWQ73kJtlvKVN9nIBFh-WSjOWEvg5CkIKTF0tdOeyT1k/s400/frc+clavicula.JPG&imgrefurl=http://usahkaularasendiri.blogspot.com/2008_10_01_archive.html&usg=__SJ9c-RVOuDF8N71r4mvj5tGYHCg=&h=400&w=381&sz=29&hl=id&start=49&tbnid=j3QwyU5Fqg5a9M:&tbnh=124&tbnw=118&prev=/images%3Fq%3Dfraktur%2Bkomplet%26gbv%3D2%26ndsp%3D20%26hl%3Did%26sa%3DN%26start%3D40

Daftar Pustaka
1. A Graham Appley, 1995, Buku Ajar Ortopedi dan Fraktur Sistem Applay Edisi 7, Widya Medika, Jakarta.
2. Chairuddin Rasjad, 2007, Pengantar Ilmu Bedah Ortopedi, Yarsif Watampone, Jakarta.
3. Richard S. Snell, 2006, Anatomi Klinik Edisi 6, EGC, Jakarta.
4. L Joseph Rubino, 2006, Clavicle Fractures, http://www.emedicine.com/orthoped/topic50.htm.
5. Kevin J Eerkes, 2008, Clavicle Injuries, http://www.emedicine.com/sports/TOPIC25.HTM
6. Jeffrey A. Housner, John E. Kuhn, 2003, Clavicle Fractures, http://www.physsportsmed.com/issues/2003/1203/housner.htm

FRAKTUR

Fraktur ( Patah Tulang )


Definisi

Fraktur merupakan terputusnya kontinyuitas dari tulang, lempeng epifisis, atau tulang rawan sendi.

Jenis

Terdapat berbagai macam jenis fraktur. Untuk lebih sistematisnya, dapat dibagi berdasarkan:

  • Lokasi
    Fraktur dapat terjadi di di berbagai tempat pada tulang seperti pada diafisis, metafisis, epifisis, atau intraartikuler. Jika fraktur didapatkan bersamaan dengan dislokasi sendi, maka dinamakan fraktur dislokasi.
  • Luas
    Terbagi menjadi fraktur lengkap dan tidak lengkap. Fraktur tidak lengkap contohnya adalah retak.
  • Konfigurasi
    Dilihat dari garis frakturnya, dapat dibagi menjadi transversal (mendatar), oblik (miring), atau spiral (berpilin). Jika terdapat lebih dari satu garis fraktur, maka dinamakan kominutif.
  • Hubungan antar bagian yang fraktur
    Antar bagian yang fraktur dapat masih berhubungan (undisplaced) atau terpisah jauh (displaced).
  • Hubungan antara fraktur dengan jaringan sekitar
    Fraktur dapat dibagi menjadi fraktur terbuka (jika terdapat hubungan antara tulang dengan dunia luar) atau fraktur tertutup (jika tidak terdapat hubungan antara fraktur dengan dunia luar).
  • Komplikasi
    Fraktur dapat terjadi dengan disertai komplikasi, seperti gangguan saraf, otot, sendi, dll atau tanpa komplikasi


    Retak Spiral Kominutif Transversal Displaced

Gejala Klinis

  • Adanya fraktur dapat ditandai dengan adanya :
  • Pembengkakan. Kecuali frakturnya terjadi jauh didalam seperti pada tulang leher atau tulang paha.
  • Perubahan bentuk, dapat terjadi angulasi (terbentuk sudut), rotasi (terputar), atau pemendekan.
  • Terdapat rasa nyeri yang sangat pada daerah fraktur.

Pemeriksaan Tambahan

Biasanya dengan tanya jawab dan pemeriksaan fisik yang cermat, diagnosis fraktur sudah dapat ditegakkan. Pemeriksaan pencitraan (seperti roentgen) dapat membantu dalam melihat jenis dari frakturnya sehingga dapat membantu dalam pemilihan terapi selanjutnya. Hal yang perlu diingat dalam pemeriksaan roentgen adalah hasilnya harus meliputi dua sendi, dua sisi, dan dua tulang (kanan dan kiri). Roentgen juga berguna untuk mengevaluasi hasil dari terapi yang diberikan.


Penatalaksanaan

Empat tujuan utama dari penanganan fraktur adalah :

  1. Untuk menghilangkan rasa nyeri.

Nyeri yang timbul pada fraktur bukan karena frakturnya sendiri, namun karena terluka jaringan disekitar tulang yang patah tersebut. Untuk mengurangi nyeri tersebut, dapat diberikan obat penghilang rasa nyeri dan juga dengan tehnik imobilisasi (tidak menggerakkan daerah yang fraktur). Tehnik imobilisasi dapat dicapai dengan cara pemasangan bidai atau gips.

  • Pembidaian : benda keras yang ditempatkan di daerah sekeliling tulang.
  • Pemasangan gips : merupakan bahan kuat yang dibungkuskan di sekitar tulang yang patah
  1. Untuk menghasilkan dan mempertahankan posisi yang ideal dari fraktur.

Bidai dan gips tidak dapat mempertahankan posisi dalam waktu yang lama. Untuk itu diperlukan lagi tehnik yang lebih mantap seperti pemasangan traksi kontinyu, fiksasi eksternal, atau fiksasi internal tergantung dari jenis frakturnya sendiri.

  • Penarikan (traksi) :

Menggunakan beban untuk menahan sebuah anggota gerak pada tempatnya. Sekarang sudah jarang digunakan, tetapi dulu pernah menjadi pengobatan utama untuk patah tulang paha dan panggul.

  • Fiksasi internal :

Dilakukan pembedahan untuk menempatkan piringan atau batang logam pada pecahan-pecahan tulang.

Gambar. Pembidaian

Gambar. Fiksasi internal


Gambar. Fiksasi eksternal

  1. Agar terjadi penyatuan tulang kembali
Biasanya tulang yang patah akan mulai menyatu dalam waktu 4 minggu dan akan menyatu dengan sempurna dalam waktu 6 bulan. Namun terkadang terdapat gangguan dalam penyatuan tulang, sehingga dibutuhkan graft tulang.
  1. Untuk mengembalikan fungsi seperti semula
Imobilisasi yang lama dapat mengakibatkan mengecilnya otot dan kakunya sendi. Maka dari itu diperlukan upaya mobilisasi secepat mungkin.

Sumber : http://images.google.co.id/imgres?imgurl=http://www.klikdokter.com/userfiles/fraktur.JPG&imgrefurl=http://desti06.multiply.com/journal/item/3/kesehatan&usg=__9L0INLpjbRlivwABx3yZTJJQ8kE=&h=509&w=687&sz=46&hl=id&start=47&tbnid=mHHbSF6JMectVM:&tbnh=103&tbnw=139&prev=/images%3Fq%3Dfraktur%2Bkomplet%26gbv%3D2%26ndsp%3D20%26hl%3Did%26sa%3DN%26start%3D40

ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN DENGAN FRAKTUR CRURIS



  1. PENGERTIAN


Fraktur cruris adalah terputusnya kontinuitas tulang dan ditentukan sesuai jenis dan luasnya, terjadi pada tulang tibia dan fibula. Fraktur terjadi jika tulang dikenao stress yang lebih besar dari yang dapat diabsorbsinya. (Brunner & Suddart, 2000)


  1. JENIS FRAKTUR

    1. Fraktur komplet : patah pada seluruh garis tengah tulang dan biasanya mengalami pergeseran.

    2. Fraktur tidak komplet: patah hanya pada sebagian dari garis tengah tulang

    3. Fraktur tertutup: fraktur tapi tidak menyebabkan robeknya kulit

    4. Fraktur terbuka: fraktur dengan luka pada kulit atau membran mukosa sampai ke patahan tulang.

    5. Greenstick: fraktur dimana salah satu sisi tulang patah,sedang sisi lainnya membengkak.

    6. Transversal: fraktur sepanjang garis tengah tulang

    7. Kominutif: fraktur dengan tulang pecah menjadi beberapa frakmen

    8. Depresi: fraktur dengan fragmen patahan terdorong ke dalam

    9. Kompresi: Fraktur dimana tulang mengalami kompresi (terjadi pada tulang belakang)

    10. Patologik: fraktur yang terjadi pada daerah tulang oleh ligamen atau tendo pada daerah perlekatannnya.


  1. ETIOLOGI

    1. Trauma

    2. Gerakan pintir mendadak

    3. Kontraksi otot ekstem

    4. Keadaan patologis : osteoporosis, neoplasma


  1. PATYWAYS



MANIFESTASI KLINIS

    1. Nyeri terus menerus dan bertambah beratnya samapi fragmen tulang diimobilisasi, hematoma, dan edema

    2. Deformitas karena adanya pergeseran fragmen tulang yang patah

    3. Terjadi pemendekan tulang yang sebenarnya karena kontraksi otot yang melekat diatas dan dibawah tempat fraktur

    4. Krepitasi akibat gesekan antara fragmen satu dengan lainnya

    5. Pembengkakan dan perubahan warna lokal pada kulit


  1. PEMERIKSAAN PENUNJANG

    1. Pemeriksaan foto radiologi dari fraktur : menentukan lokasi, luasnya

    2. Pemeriksaan jumlah darah lengkap

    3. Arteriografi : dilakukan bila kerusakan vaskuler dicurigai

    4. Kreatinin : trauma otot meningkatkanbeban kreatinin untuk klirens ginjal


  1. PENATALAKSANAAN


    1. Reduksi fraktur terbuka atau tertutup : tindakan manipulasi fragmen-fragmen tulang yang patah sedapat mungkin untuk kembali seperti letak semula.

    2. Imobilisasi fraktur

Dapat dilakukan dengan fiksasi eksterna atau interna

    1. Mempertahankan dan mengembalikan fungsi

      • Reduksi dan imobilisasi harus dipertahankan sesuai kebutuhan

      • Pemberian analgetik untuk mengerangi nyeri

      • Status neurovaskuler (misal: peredarandarah, nyeri, perabaan gerakan) dipantau

      • Latihan isometrik dan setting otot diusahakan untuk meminimalakan atrofi disuse dan meningkatkan peredaran darah

  1. KOMPLIKASI

    1. Malunion : tulang patah telahsembuh dalam posisi yang tidak seharusnya.

    2. Delayed union : proses penyembuhan yang terus berjlan tetapi dengan kecepatan yang lebih lambat dari keadaan normal.

    3. Non union : tulang yang tidak menyambung kembali


  1. PENGKAJIAN

Pengkajian primer
  • Airway

Adanya sumbatan/obstruksi jalan napas oleh adanya penumpukan sekret akibat kelemahan reflek batuk

  • Breathing

Kelemahan menelan/ batuk/ melindungi jalan napas, timbulnya pernapasan yang sulit dan / atau tak teratur, suara nafas terdengar ronchi /aspirasi

  • Circulation

TD dapat normal atau meningkat , hipotensi terjadi pada tahap lanjut, takikardi, bunyi

jantung normal pada tahap dini, disritmia, kulit dan membran mukosa pucat, dingin,

sianosis pada tahap lanjut


Pengkajian sekunder

a.Aktivitas/istirahat

  • kehilangan fungsi pada bagian yangterkena
  • Keterbatasan mobilitas
    1. Sirkulasi

      • Hipertensi ( kadang terlihat sebagai respon nyeri/ansietas)
      • Hipotensi ( respon terhadap kehilangan darah)
      • Tachikardi
      • Penurunan nadi pada bagiian distal yang cidera
      • Cailary refil melambat
      • Pucat pada bagian yang terkena
      • Masa hematoma pada sisi cedera
    2. Neurosensori

      • Kesemutan
      • Deformitas, krepitasi, pemendekan
      • kelemahan
    3. Kenyamanan

      • nyeri tiba-tiba saat cidera
      • spasme/ kram otot
    4. Keamanan

      • laserasi kulit
      • perdarahan
      • perubahan warna
      • pembengkakan lokal
  1. DIAGNOSA KEPERAWATAN DAN INTERVENSI

    • Kerusakan mobilitas fisik b.d cedera jaringan sekitasr fraktur, kerusakan rangka neuromuskuler

Tujuan : kerusakn mobilitas fisik dapat berkurang setelah dilakukan tindakan

keperaawatan

Kriteria hasil:

  • Meningkatkan mobilitas pada tingkat paling tinggi yang mungkin
  • Mempertahankan posisi fungsinal
  • Meningkaatkan kekuatan /fungsi yang sakit
  • Menunjukkan tehnik mampu melakukan aktivitas

Intervensi:

  1. Pertahankan tirah baring dalam posisi yang diprogramkan
  2. Tinggikan ekstrimutas yang sakit
  3. Instruksikan klien/bantu dalam latian rentanng gerak pada ekstrimitas yang sakit dan tak sakit
  4. Beri penyangga pada ekstrimit yang sakit diatas dandibawah fraktur ketika bergerak
  5. Jelaskan pandangan dan keterbatasan dalam aktivitas
  6. Berikan dorongan ada pasien untuk melakukan AKS dalam lngkup keterbatasan dan beri bantuan sesuai kebutuhan’Awasi teanan daraaah, nadi dengan melakukan aktivitas
  7. Ubah psisi secara periodik
  8. Kolabirasi fisioterai/okuasi terapi
  • Nyeri b.d spasme tot , pergeseran fragmen tulang

Tujuan ; nyeri berkurang setelah dilakukan tindakan perawatan

Kriteria hasil:

  1. Klien menyatajkan nyei berkurang
  2. Tampak rileks, mampu berpartisipasi dalam aktivitas/tidur/istirahat dengan tepat
  3. Tekanan darahnormal
  4. Tidak ada eningkatan nadi dan RR

Intervensi:

  1. Kaji ulang lokasi, intensitas dan tpe nyeri

  2. Pertahankan imobilisasi bagian yang sakit dengan tirah baring

  3. Berikan lingkungan yang tenang dan berikan dorongan untuk melakukan aktivitas hiburan

  4. Ganti posisi dengan bantuan bila ditoleransi

  5. Jelaskanprosedu sebelum memulai

  6. Akukan danawasi latihan rentang gerak pasif/aktif

  7. Drong menggunakan tehnik manajemen stress, contoh : relasksasi, latihan nafas dalam, imajinasi visualisasi, sentuhan

  8. Observasi tanda-tanda vital

  9. Kolaborasi : pemberian analgetik

    1. Kerusakan integritas jaringan b.d fraktur terbuka , bedah perbaikan

Tujuan: kerusakan integritas jaringan dapat diatasi setelah tindakan perawatan

Kriteria hasil:

  1. Penyembuhan luka sesuai waktu
  2. Tidak ada laserasi, integritas kulit baik

Intervensi:

  1. Kaji ulang integritas luka dan observasi terhadap tanda infeksi atau drainae

  2. Monitor suhu tubuh

  3. Lakukan perawatan kulit, dengan sering pada patah tulang yang menonjol

  4. Lakukan alihposisi dengan sering, pertahankan kesejajaran tubuh

  5. Pertahankan sprei tempat tidur tetap kering dan bebas kerutan

  6. Masage kulit ssekitar akhir gips dengan alkohol

  7. Gunakan tenaat tidur busa atau kasur udara sesuai indikasi

  8. Kolaborasi emberian antibiotik.

DAFTAR PUSTAKA

  1. Tucker,Susan Martin (1993). Standar Perawatan Pasien, Edisi V, Vol 3. Jakarta. EGC
  2. Donges Marilynn, E. (1993). Rencana Asuhan Keperawatan, Edisi 3, Jakarta. EGC
  3. Smeltzer Suzanne, C (1997). Buku Ajar Medikal Bedah, Brunner & Suddart. Edisi 8. Vol 3. Jakarta. EGC
  4. Price Sylvia, A (1994), Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-ProsesPenyakit. Jilid 2 . Edisi 4. Jakarta. EGC

網誌封存